Siapa
pun pasti akan sulit percaya bila aku katakan bahwa saat ini aku sedang
berada di sebuah kota yang tak ada dalam peta. Kota dengan penghuni
yang bisu. Ya. Bisu. Semua penduduknya bisu.
Dan karena semua
penduduknya bisu, maka mereka hanya saling tersenyum atau menganggukkan
wajah bila berpapasan sebagai tanda menyapa. Mereka menunjuk barang apa
saja yang ingin mereka beli di toko. Dan karena semua bisu, maka
sebanyak apa pun penduduk kota itu, suasana tetap saja begitu hening.
Kota
itu adalah kota yang tua. Begitu tua. Kau bisa mengetahuinya hanya
dengan melihat bangunan-bangunan yang ada di kota itu. Semua mengesankan
bahwa bangunan-bangunan itu telah ada semenjak ratusan tahun yang
lampau. Begitu pula dengan model pakaian yang mereka kenakan. Aku tidak
tahu kenapa bisa begitu. Aku menduga karena posisinya yang begitu sulit
dicari (bahkan, peta paling lengkap pun tak sanggup menggambarkan letak
kota itu), maka kota itu menjadi terputus dengan peradaban yang ada di
luar kota tersebut.
Konon, dulu sekali, penduduk kota itu sama
seperti orang normal kebanyakan. Tidak bisu. Bisa bicara. Pada waktu
itu, kota tersebut dikuasai oleh seorang penguasa yang kejam. Yang
begitu haus kekuasaan. Yang takut kekuasaannya bakal direbut orang lain.
Tidak sekali dua kali si penguasa menerapkan kebijakan yang sama sekali
tidak bijak. Misal: menetapkan tarif pajak yang sama dengan penghasilan
penduduknya. Atau ketika si penguasa hendak merenovasi kediamannya yang
besar selayaknya istana, mewajibkan setiap penduduk kota itu bekerja di
sana tanpa upah. Persis kerja rodi. Atau romusa. Si
penguasa juga menjadikan segala tambang yang ada di kota itu (dulu, kota
itu memiliki banyak tambang, mulai tambang emas, tambang minyak bumi,
hingga tambang batu bangunan) menjadi milik pribadinya.
Tidak ada
yang berani melawan si penguasa. Si penguasa memiliki pasukan yang kuat
dengan persenjataan yang canggih. Siapa pun yang berani melawan, akan
bernasib tragis. Pagi melawan, sore mati. Begitulah selama
bertahun-tahun.
Tidak ada yang secara terang-terangan mencoba
melawan si penguasa. Semua penduduk merasa ketakutan. Dan orang yang
takut, pada akhirnya, hanya berani bergunjing di belakang. Membicarakan
segala sesuatu tentang si penguasa yang buruk-buruk.
Namun,
seperti kata pepatah, sebaik-baik menyimpan bangkai, baunya akan tercium
juga, begitu pula dengan gunjing-gunjing tersebut. Entah bagaimana, si
penguasa akhirnya tahu juga bila semua warga kota itu selalu
menggunjingnya, membicarakan keburukannya.
”Suatu hari,
gunjing-gunjing itu bisa berubah menjadi gerakan pemberontakan!”
demikian kesimpulan si penguasa. ”Ketika waktu itu tiba, bukan tidak
mungkin sekuat apa pun pasukanku, tidak akan dapat meredam orang-orang
itu,” pikirnya lagi.
Maka begitulah. Pada suatu ketika, dengan
tujuan agar tak ada lagi penduduk kota yang membicarakan keburukannya,
yang kemungkinan besar bisa membahayakan kedudukan si penguasa di
kemudian hari, si penguasa mengeluarkan kebijakan yang aneh. Kebijakan
paling aneh yang pernah dibuat. Memotong lidah semua penduduk kota itu.
Dan
bukan hanya lidah orang yang sudah dewasa yang dipotong, melainkan juga
lidah anak-anak. Bahkan, lidah mereka yang masih bayi. Lalu begitulah.
Entah kenapa, setelah semua lidah penduduk dipotong, setelah semua yang
ada di kota itu menjadi bisu, setiap bayi yang lahir, tiba-tiba saja
sudah tak berlidah. Semua orang menjadi bisu. Hingga hari ini.
Itu
memang cerita yang sulit diterima akal sehat. Namun, cerita itu
bukanlah satu-satunya cerita tentang asal mula bisunya penduduk kota tua
itu.
Ada cerita lain. Konon, dulu, penduduk kota ini adalah
orang-orang yang banyak bicara. Tidak sedetik pun mereka tidak bicara.
Bahkan, dalam tidur pun, mereka bicara. Mengigau. Semua selalu ingin
bicara. Semua selalu ingin ucapannya yang didengar. Namun siapa yang
mendengar bila semua orang hanya ingin bicara? Semua seolah lupa kenapa
Tuhan menciptakan satu mulut dan dua telinga. Semua seolah lupa bila
Tuhan ingin kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Dan keadaan
seperti itu semakin parah karena ternyata yang mereka bicarakan semata
bualan! Bualan belaka!
Pada waktu itu, entah dari mana, seseorang
yang konon adalah wali Tuhan, sampai ke kota itu. Si wali begitu
terkejut mengetahui betapa orang- orang di kota itu teramat suka
membual. Namun si wali tahu, lidah bisa membual, tetapi tidak halnya
dengan mata. Mata selalu jujur perihal apa yang ada di dalam hati.
Segala yang ada di hati, yang sebenarnya, seperti tersirat dari
pandangan mata. Mata seolah telaga bening dengan dasar berupa hati. Itu
pula sebabnya orang-orang menyebut mata sebagai jendela jiwa.
Konon,
kemudian si wali yang prihatin berdoa. Berdoa agar semua orang di kota
itu berhenti membual. Agar orang-orang di kota itu tidak lagi bicara
dengan mulut dan lidah. Melainkan dengan mata.
Semenjak itu pula, semua orang menjadi bisu. Bisu hingga turun temurun. Hingga hari ini.
Aku
tidak tahu cerita versi mana yang benar. Dan itu tak penting benar
bagiku. Aku datang ke kota ini dengan niat awal untuk tinggal di sini.
Tinggal bersama kekasihku. Kekasih yang pada awal-awal percintaan kami
berkata bahwa dia akan selalu mencintaiku. Kekasih yang bersumpah hanya
akan mengucap cinta kepadaku.
Waktu itu, aku percaya. Hingga
kemudian, beberapa waktu yang lalu, aku tahu, ia menggunakan lidah dan
mulutnya untuk mengucap cinta kepada lelaki lain. Dan bukan hanya
mengucap cinta, lidah dan mulut itu juga mengecup serta mengulum mulut
dan lidah lelaki lain. Bahkan, mungkin, bukan hanya lidah dan mulut
lelaki lain itu saja yang ia kecup dan kulum. Mungkin juga bagian tubuh
yang lain dari lelaki itu.
Aku cemburu. Aku menuntut sumpahnya.
Tapi ia bilang aku terlalu mengada-ada. Ia bilang aku terlalu cemburu.
Ia bilang ia tidak melakukan apa-apa yang aku tuduhkan kepadanya. Ia
berkata lagi, ia bersumpah lagi tetap mencintaiku. Dan aku meminta
pembuktian. Aku meminta kepastian bahwa lidahnya tidak bakal mengucap
cinta kepada lelaki lain. Aku meminta kepastian bahwa lidahnya tidak
bakal menjilati tubuh lelaki lain.
Begitulah. Dengan bersusah
payah, dengan cara yang teramat sulit dijelaskan, kami sampai ke kota
ini. Kota tua bisu. Aku yakin, ada enggan di dalam hati kekasihku.
Barangkali kadarnya cuma sedikit. Tapi ada. Dan aku memaksanya.
Demi cinta.
”Di
sana, di kota orang-orang bisu, tidak bakal ada yang melihat kita
dengan aneh. Tidak ada yang memandang kita dengan pandangan kasihan.
Bukankah sangat tidak nyaman menyadari bahwa orang memandang kita dengan
pandangan yang serupa itu, bukan? Bukankah kita hidup di negeri yang
aneh? Negeri di mana orang- orang suka meremehkan orang-orang yang
mereka anggap cacat? Di kota itu, di kota orang-orang bisu itu, kita
tidak akan mendapat pandangan yang aneh. Kita tetap menjadi manusia yang
utuh, manusia normal ketika berada di sana,” kataku. Meyakinkan.
”Bukankah kau mau membuktikan kalau kau memang benar-benar mencintaiku?” desakku.
Begitulah
mulanya kami sampai di kota itu. Kami saling mengucap cinta. Mengucap
nama masing-masing. Itulah kata-kata terakhir yang lidah kami ucapkan.
Sebab setelah itu, kami sama-sama menghunus pisau. Saling memotong
lidah. Saling membisukan diri.